Sunday, June 23, 2013

Inferno (Robert Langdon #4) by Dan Brown




Judul                     : Inferno (Robert Langdon #4)
Pengarang           : Dan Brown
Penerbit               : Doubleday
Halaman              : 480
Tahun                   : 2013


Rating : 4 of 5 stars

Robert Langdon terbangun di sebuah rumah sakit di Florence dalam keadaan amnesia. Bukan Amnesia total tepatnya, tetapi amnesia selektif dimana ia tidak bisa mengingat kejadian selama dua hari terakhir. Ia bahkan masih menyangka berada dirumahnya di Amerika dan sedang mempersiapkan bahan perkuliahannya.

Jadi bisa dibayangkan saat dokter yang merawatnya Sienna Brooks mengatakan ia sedang berada di Florence, Italia. Bukan hanya itu, amnesianya ternyata disebabkan oleh peluru yang menyerempet kepalanya dan menimbulkan trauma.

Belum sempat Langdon mencerna semua itu, ia diburu oleh seorang pembunuh bayaran yang menembaki semua orang yang menghalangi jalannya. Kembali dr. Brooks menjadi malaikat penyelamat. Langdon dibawa ke apartemen si dokter untuk bersembunyi. Saat  meminta bantuan kepada kedutaan Amerika, malah yang datang adalah pasukan yang juga memburu Langdon.

Tidak bisa mempercayai siapapun, Langdon yang ditemani oleh dr. Sienna Brooks kembali menelurusi jejak peristiwa yang membawanya kedalam keadaan saat ini.

Salah seorang  pengarang favorit saya pernah berkata bahwa dalam dunia nyata amnesia jarang terjadi, tetapi saat sampai ke ranah fiksi bring it on! (kira-kira seperti itulah, saya tidak bisa menemukan kutipan langsungnya)

Pakem ini ternyata juga tidak menjadi pantangan untuk digunakan Dan Brown. Syukurnya amnesia Langdon hanya tentang kejadian selama dua hari terakhir. Kalau Dan Brown memberikan Langdon amnesia total bisa-bisa kita tidak akan mempelajari tentang segala sejarah dan seni yang menjadi andalan novel-novel Dan Brown.

Dante - Divine Comedy

Di buku ini kita kembali dibawa ke Italia tetapi disudut-sudut kota yang berbeda, yaitu Florence dan Venesia. Kita juga dipertemukan dengan dua raksasa Itali yaitu Dante Alighieri dan Sandro Botticelli melalui karya-karya mereka Divine Comedy dan La Mappa dell’Inferno.

Divine Comedy merupakan sebuah karya sastra yang berisi visi Dante tentang neraka dan menceritakan perjalanannya menempuh neraka untuk sampai ke surga. Sementara La Mappa dell’Inferno (The Map of Hell) merupakan lukisan karya Sandro Botticelli yang terinspirasi dari karya Divine Comedy-nya Dante.

Botticelli - La Mappa dell'Inferno
Di lukisan ini digambarkan sembilan lingkaran neraka. Setiap lingkaran menggambarkan tingkatan dosa dari yang paling ringan di lingkaran terluar hingga ke pusat dimana tingkatan dosa semakin berat dan menuju tempat setan bertahta.

Dari sini cerita berkembang dimana satu petunjuk kemudian mengarah kepada petunjuk yang lain, sehingga akhirnya Langdon berhasil menemukan tali merah penghubung petunjuk-petunjuk tersebut dan dihadapkan kepada kenyataan bahwa kasusnya kali ini ternyata berhubungan dengan nasib umat manusia.

Novel terbaru Dan Brown ini sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dengan novel-novelnya sebelumnya. Kombinasi karya-karya seni yang dipadukan dengan permasalahan-permasalahan modern. Seperti biasa, jalan cerita dibuat cepat karena adanya batasan waktu dan lokasi serta sudut pandang yang berpindah-pindah membuat cerita ini tetap enak untuk dibaca.

Amnesia yang dialami Langdon memberi kita sedikit angin segar di novel ini. Kalau biasanya kita membaca tentang Langdon yang selalu yakin dengan apa yang dilakukan disini kita merasakan frustasi Langdon karena tidak tahu apa yang telah terjadi dengannya. Apalagi saat bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya tetapi sama sekali tidak diingat oleh Langdon.

Sentilan-sentilan humor masih bertebaran dibeberapa bagian, cukup untuk membuat kita tergelak. Contohnya saat Langdon meminjam pesawat jet perusahaan ke editornya: “Okay, let me rephrase that. We don’t have access to private jets for authors of tomes about religious history. If you want to write Fifty Shades of Iconography, we can talk.”

Poin utama yang membuat buku ini tetap menarik adalah perkenalan kita dengan para maestro-maestro seni yang selalu merupakan tiang utama dari novel Dan Brown. Dan setiap buku yang ditulisnya membahas karya-karya seni tersebut dengan cukup detil sehingga pembaca yang buta seni seperti saya pun turut menikmati pembahasan yang diberikannya.

Semua karya seni yang disebutkan Dan Brown dibuku ini adalah benda nyata dan benar-benar ada. Inilah yang paling saya kagumi dari novel-novel Dan Brown. Bagaimana ia menghubung-hubungkan semua karya seni tersebut sehingga membentuk sebuah latar belakang yang mendukung novel fiksinya ini.

Bintang 4 saya persembahkan untuk buku ini.

Delirium by Lauren Oliver




Judul                     : Delirium
Pengarang           : Lauren Oliver
Penerbit               : Mizan Fantasi
ISBN                     : 9789794336465
Halaman              : 515




Rating :  3 of 5 stars


Lena Haloway hidup didunia dimana cinta dinyatakan sebagai sebuah penyakit. Untungnya pemerintah telah berhasil meracik penawar untuk penyakit ini. Penawar ini baru akan diberikan setelah seseorang berumur 18 tahun. Dibawah umur tersebut, proses penyembuhan sangat berbahaya hingga bisa menyebabkan kematian.

Lena sudah tidak sabar ini menjalani prosedur penyembuhan ini. Ia ingin cepat kuliah dan kemudian membangun rumah tangga dengan jodoh yang telah dipilihkan olehnya. Tetapi sayangnya, saat saat hari prosedur penyembuhannya datang, acara tersebut dikacaukan oleh para Invalid, orang-orang yang menolak untuk disembuhkan.

Proses penyembuhan dianggap batal dan akan diulang beberapa bulan kemudian. Tetapi dalam masa penungguan ini Lena bertemu dengan Alex Sheates, cowok yang sudah mengalami prosedur penyembuhan tetapi malah menularkan penyakit cinta kepada Lena.

Pertamakali buku ini diterjemahkan saya sama sekali tidak tertarik membacanya. Sinopsis dibelakang buku mengingatkan saya akan sebuah film berjudul Equilibrium yang dibintangi oleh Christian Bale. Di film ini pemerintah mengontrol emosi warganya dengan memberikan suntikan obat yang harus mereka konsumsi setiap hari. Tindakan ini diambil karena dunia yang hancur setelah perang dunia ketiga, sehingga seorang ilmuwan muncul sebagai juru selamat dengan menciptakan obat tersebut. semua benda yang bisa menimbulkan rasa cinta dan ambisi ingin memiliki dihancurkan termasuk lukisan-lukisan seperti lukisan Monalisa, musik-musik klasik, dll.


Pada suatu hari Christian Bale yang berperan sebagai seorang Cleric, anggota pasukan pengaman, melewatkan satu sesi suntikannya dan pemandangan matahari terbit menggugah perasaan yang tertidur didalam dirinya.

Nah, mirip kan ceritanya?

Hanya saja versi Equilibrium jauh lebih bagus daripada Delirium ini. Suasana militernya sangat terasa, dan jangan harap para kaum pemberontak bisa menyelundupkan sapi ke dalam kota seperti yang dilakukan para Invalid di Delirium. Malah para pemberontak menjadi orang-orang yang berada di barisan depan upacara pidato harian pemerintah dan yang bertepuk tangan paling meriah, yang menunjukkan keahlian mereka berpura-pura dihadapan umum.

Dan saya sempat heran saat dengan mudahnya Hanna menemukan tempat dimana sebuah konser terlarang akan diselenggarakan. Melalui internet pula. Emang pemerintah ga bisa mencari hal-hal seperti itu? Apalagi kalo diliat para pengunjung konser itu banyak pula teman-teman sekolah Lena dan Hana.

Saya merasa Delirium ini mungkin terinspirasi dari film Equilibrium tapi dengan settingan YA. Hanya saja Delirium ini terasa lebih dangkal menurut saya dan kondisi dunia kurang meyakinkan. Tanggung. Ga ketat dan tidak juga lunak.

Yang jadi pertanyaan, kalo emang ga tertarik baca buku ini kenapa dibeli juga?

Yah, karena lagi obral 15 ribu sih. Hehehehe...

#Nunggu obralan Pandemonium

Sunday, June 9, 2013

Every Dead Thing (Orang-Orang Mati) by John Connolly




My rating: 4 of 5 stars



Judul              : Every Dead Thing (Orang-Orang Mati)
Penulis           : John Connolly
Penerbit          : PT. GPU
Tahun Terbit    : September 2011
Halaman          : 543





Apa yang paling ditakuti oleh seorang polisi?

Apabila kejahatan menyentuh keluarga mereka.

Malangnya bagi Detektif Charlie Parker kejadian tersebut menimpanya. Kejahatan bukan hanya menyentuh keluarganya tetapi juga merenggut mereka dari kehidupan Charlie. Anak dan Istrinya dibunuh di dapur rumah mereka sementara ia sedang bermabuk-mabukan di bar. Semua itu semakin diperparah ketika timbul bisik-bisik bahwa sebenarnya pembunuhan itu dilakukan oleh Charlie sendiri. rumah tangga Charlie yang mulai tidak akur sudah menjadi rahasia umum.

Charlie kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri dari kepolisian, menjual rumah dan aset-asetnya dan berkelana mencari petunjuk pembunuh istri dan anaknya. 7 bulan berlalu dan satu-satunya petunjuk yang didapatkan Charlie hanyalah dari Tante Marie, orang pintar dari New Orleans. Marie menyebut pembunuh keluarga Charlie sebagai “Pengembara” dan keluarga Charlie bukanlah satu-satu yang pernah ia bunuh.

Kembali ke New York, Charlie menerima pekerjaan sampingan sebagai detektif swasta. 2 kasus yang diterimanya ternyata saling berhubungan, mengacu kepada pembunuhan anak-anak di Haven, Virginia dan sebuah keluarga mafia di New York. Tidak cukup hanya menjadi penyelidik dalam kasus ini, Charlie juga menjadi incaran untuk dibunuh.

Dan bagaimana dengan pembunuhan anak dan istrinya? Bisakah Charlie menemukan pembunuh mereka?

Sudah cukup lama saya tidak membaca buku thriller. Dan membaca buku ini seolah-olah saya dikasih special treat oleh John Connolly. Bayangkan saja, 2 kasus dalam 1 buku! Dengan ketebalan buku sejumlah 543 halaman dan ukuran huruf yang bisa bikin saya mengunjungi dokter mata sesudah membaca buku ini, saya benar-benar tidak bisa berhenti membaca.

Prolog dibuka melalui 3 sudut pandang sekaligus. POV Charlie dimasa sekarang, POV Charlie sewaktu mendapati keluarganya terbunuh dan POV Walter Cole, partner Charlie, melalui laporan pembunuhan keluarga Charlie. Ketiga POV saling menjalin dan melengkapi dalam mengisahkan pembunuhan anak dan istri Charlie.

Bagi pecinta thriller, buku ini akan melepas kerinduan akan semua settingan yang ada. Pengejaran tersangka yang menghilang setelah membayar jaminannya, yang kemudian dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran, dan membawa ke dunia mafia yang lekat dengan prinsip keluarga dan omerta-nya untuk kemudian dihadapkan kepada pembunuhan berantai di sebuah kota kecil yang sedang sekarat di Amerika. Dan, kalau semua itu belum cukup bagi anda, ada sedikit sentuhan paranormal ketika kita dipertemukan dengan Tante Marie dari New Orleans.

Hanya satu hal yang bikin buku ini sedikit minus dimata saya, yaitu detail pembunuhan yang terlalu eksplisit. Terlalu detail sehingga bikin saya merinding, tapi tetep keukeuh membacanya hingga lewat tengah malam.

Ataukah ini adalah contoh nyata kelihaian John Connolly dalam menulis sehingga semua pembunuhan ini terasa nyata? Bagaimanapun buku ini meraih Shamus Award for Best First Novel di tahun 1999.